Tuesday, January 13, 2009

Titip Ibuku Ya Allah

Titip Ibuku Ya Allah
Written by Swastioko Budhi Suryanto

"Nak, bangun... sudah adzan subuh. Sarapanmu sudah ibu siapin di meja...". Tradisi ini sudah berlangsung 20 tahun, sejak pertama kali aku bisa mengingat. Kini usiaku sudah kepala 3 dan aku jadi seorang karyawan disebuah Perusahaan Tambang, tapi kebiasaan Ibu tak pernah berubah.

"Ibu sayang... nggak usah repot-repot Bu, aku dan adik-adikku sudah dewasa" pintaku pada Ibu pada suatu pagi. Wajah tua itu langsung berubah. Pun ketika Ibu mengajakku
makan siang di sebuah restoran. Buru-buru ku keluarkan uang dan kubayar semuanya. Ingin kubalas jasa Ibu selama ini dengan hasil keringatku. Raut sedih itu tak bisa disembunyikan.

Kenapa Ibu mudah sekali sedih ?. Aku hanya bisa mereka-reka, mungkin sekarang fasenya
aku mengalami kesulitan memahami Ibu karena dari sebuah artikel yang kubaca, orang yang lanjut usia bisa sangat sensitif dan cenderung untuk bersikap kanak-kanak. Tapi entahlah.... Niatku ingin membahagiakan malah membuat Ibu sedih. Seperti biasa, Ibu tidak akan pernah mengatakan apa-apa.

Suatu hari kuberanikan diri untuk bertanya, "Bu, maafin aku kalau telah menyakiti perasaan Ibu. Apa yang bikin Ibu sedih ?". Kutatap sudut-sudut mata Ibu, ada genangan air mata di sana. Terbata-bata Ibu berkata " Tiba-tiba Ibu merasa kalian tidak lagi membutuhkan Ibu. Kalian sudah dewasa, sudah bisa menghidupi diri sendiri. Ibu tidak boleh lagi menyiapkan sarapan untuk kalian, Ibu tidak bisa lagi jajanin kalian. Semua sudah bisa kalian lakukan sendiri".

Ah, Ya Allah, ternyata buat seorang Ibu... bersusah payah melayani putra-putrinya adalah sebuah kebahagiaan. Satu hal yang tak pernah kusadari sebelumnya. Niat membahagiakan bisa jadi malah membuat orang tua menjadi sedih karena kita tidak berusaha untuk saling membuka diri melihat arti kebahagiaan dari sudut pandang masing-masing. Diam-diam aku bermuhasabah, apa yang telah kupersembahkan untuk Ibu dalam usiaku sekarang ?. Adakah Ibu bahagia dan bangga pada putera putrinya ?.

Ketika itu ku tanya pada Ibu, Ibu menjawab "Banyak sekali nak kebahagiaan yang telah kalian berikan pada Ibu. Kalian tumbuh sehat dan lucu ketika bayi adalah kebahagiaan. Kalian berprestasi di sekolah adalah kebanggaan buat Ibu. Kalian berprestasi di pekerjaan adalah kebanggaan buat Ibu. Setelah dewasa, kalian berperilaku sebagaimana seharusnya seorang hamba, itu kebahagiaan buat Ibu. Setiap kali binar mata kalian mengisyaratkan kebahagiaan di situlah kebahagiaan orang tua".

Lagi-lagi aku hanya bisa berucap "Ampunkan aku ya Allah kalau selama ini sedikit sekali ketulusan yang kuberikan kepada Ibu. Masih banyak alasan ketika Ibu menginginkan sesuatu".

Betapa sabarnya Ibuku melalui liku-liku kehidupan. Sebagai seorang wanita karier, seharusnya banyak alasan yang bisa dilontarkan Ibuku untuk "cuti" dari pekerjaan rumah atau menyerahkan tugas itu kepada pembantu. Tapi tidak!. Ibuku seorang yang idealis. Menata keluarga, merawat dan mendidik anak-anak adalah hak prerogatif seorang ibu yang takkan bisa dilimpahkan kepada siapapun.

Pukul 3 dinihari Ibu bangun dan membangunkan kami untuk tahajud. Menunggu subuh, Ibu ke dapur menyiapkan sarapan sementara aku dan adik-adik sering tertidur lagi. Ah, maafin kami Ibu... 18 jam sehari sebagai "pekerja" seakan tak pernah membuat Ibu lelah. Sanggupkah aku ya Allah ?.

"Nak... bangun nak, sudah azan subuh... sarapannya sudah Ibu siapin dimeja...". Kali ini aku lompat segera. Kubuka pintu kamar dan kurangkul Ibu sehangat mungkin, kuciumi pipinya yang mulai keriput, kutatap matanya lekat-lekat dan kuucapkan "Terimakasih Ibu, aku beruntung sekali memiliki Ibu yang baik hati, ijinkan aku membahagiakan Ibu...".

Kulihat binar itu memancarkan kebahagiaan. Cintaku ini milikmu, Ibu... Aku masih sangat membutuhkanmu. Maafkan aku yang belum bisa menjabarkan arti kebahagiaan buat dirimu.

"Ya Allah, cintai Ibuku, beri aku kesempatan untuk bisa membahagiakan Ibu..., dan jika saatnya nanti Ibu Kau panggil, panggillah dalam keadaan khusnul khatimah. Ampunilah segala dosa-dosanya dan sayangilah ia sebagaimana ia menyayangi aku selagi aku kecil". "Titip Ibuku ya Allah".

2 komentar:

Anonymous,  January 14, 2009 at 12:32 PM  

Subkhanallah, begitu tulusnya cinta seorang ibu, belum sebanding kebahagiaan yang kita berikan pada beliau. terima kasih mas sudah mengetuk hati ini, hati yang kurang peka terhadap kasih murni seorang ibu, sekali lagi terima kasih. Hanya do'a tulus yang bisa kita persembahkan semoga Allah memberikan sesuatu yang paling baik buat cinta kasih ibu....amien

Anonymous,  January 14, 2009 at 12:36 PM  

Subkhanallah.....luar biasa sekali cinta seorang ibu, makasih kang mengingatkan ketidak sensitifan hati ini akan cinta murni seorang ibu. hanya do'a yang bisa kupersembahkan semoga Allah memberikan yang paling baik buat ibu, sekali lagi terima kasih sudah mengingatkan.

Post a Comment

Buat Pesan

Text

  ©Template by Dicas Blogger.